Selasa, 17 Februari 2009


Kontroversi Puyer, Bagaimana Menyikapinya?

Kemarin seorang rekan menge-buzz saya, meminta pendapat saya tentang kontroversi puyer. Sayang baru malam ini saya punya kesempatan untuk menulis pendapat saya tentang hal ini, jadi maaf kalau kurang up to date. Sebelumnya, secara sederhana puyer adalah sediaan obat yang berbentuk bubuk.

Biasanya dibuat dari obat sediaan tablet yang kemudian digerus. Pada prakteknya, sediaan puyer sering berupa racikan beberapa obat yang dicampur menjadi satu. Kadang diberikan begitu saja dalam bentuk bubuk, atau kemudian dikemas dalam bentuk kapsul.

Kenapa banyak dokter meresepkan puyer? Alasan yang pertama adalah, (sebagian besar) dokter memang diajari cara membuat puyer! Ketika saya masih berstatus mahasiswa kedokteran, saya mendapatkan mata kuliah Farmakologi 1, Farmakologi 2, dan Farmakologi 3. Di mata kuliah tersebut kami belajar mulai dari asal usul obat, bahan aktifnya, farmakodinamik dan farmakokinetiknya, cara kerjanya, efek sampingnya, termasuk juga reaksinya dengan obat/makanan/zat lainnya. Di mata kuliah Farmakologi 3 (atau disebut juga Farmasi), kami antara lain diajarkan cara menulis racikan puyer. Poin paling penting pada saat itu adalah kami harus tahu mana obat yang boleh dibuat puyer mana yang tidak boleh, dan interaksi obat satu sama lain (dengan kata lain, obat A boleh dicampur dengan obat apa saja, tidak boleh dicampur dengan obat apa saja.).

Bahkan di kepaniteraan klinik (ko-as), saya mendapatkan kesempatan untuk belajar membuat puyer secara praktek, mulai dari menulis resepnya, menggerus dan mencampur obatnya, sampai belajar membagi dan memasukkan puyer tersebut ke dalam bungkusnya. Saya tidak tahu kurikulum kedokteran sekarang, namun dulu (saya lulus dokter tahun 2002) membuat puyer masuk dalam kurikulum, dan semua dokter mempelajarinya. Jadi jelaslah, alasan pertama kenapa banyak dokter membuat resep puyer karena mereka memang diajari cara membuat puyer, dan legal (sejauh ini belum ada larangan dari otoritas kesehatan tentang penggunaan puyer di Indonesia). Alasan kedua, untuk mempermudah pemberian obat. Kadang seorang pasien membutuhkan beberapa obat. Karena minum obat lebih dari 1 itu menambah stress, maka beberapa obat tersebut dicampur menjadi satu. Alasan ketiga, dst tidak akan ditulis di sini, untuk mempersempit pembahasan.

Sebenarnya, dalam pembuatan puyer ada protokolnya, mulai dari penulisan resep sampai pembuatannya. Kalau protokol/kaidah-kaidah ini dipenuhi, puyer itu aman. Sebagai contoh, tidak semua obat boleh digerus menjadi puyer. Obat yang didesain untuk larut perlahan di lambung akan hilang kemampuannya untuk larut secara perlahan jika digerus, karena itu, tidak boleh diracik menjadi puyer. Karena dalam proses pembuatan puyer ada tahap membagi dan memasukkan ke dalam bungkusnya, maka obat yang diracik ke dalam bentuk puyer tersebut tidak boleh dari golongan yang batas keamanannya sempit. Artinya, dosis tidak harus persis sama, selisih beberapa mg tidak menyebabkan perubahan yang bermakna. Obat yang batas keamanannya sempit seperti golongan digitalis tidak boleh dibuat puyer (karena selisih nol koma sekian mg saja efeknya bisa berbeda/berbahaya). Selain itu, tidak sembarang obat boleh dicampur menjadi satu (jangankan dicampur dalam bentuk puyer, beberapa obat tertentu meskipun tetap dalam bentuk aslinya belum tentu boleh diminum secara bersamaan). Proses pembuatannya pun ada protokolnya, untuk menghindari kontaminasi, salah ukur, dst. Karena itu, amankah puyer? Jika protokolnya dipenuhi, kenapa tidak aman? Jadi saya agak bingung jika ada yang bermain paham “pokoknya no puyer, karena tidak aman”. Lha kalau semua kaidah dipenuhi, apanya yang tidak aman? Paling kemudian dilanjutkan, “Apa dokter bisa menjamin kaidah-kaidahnya dipenuhi?”*smile*. Kalau sudah begitu jaka sembung bawa golok. Poin saya, kalau kaidah/protokol pembuatan puyer dipatuhi, kenapa puyer dibilang tidak aman? Tidak amannya dimana?

Protokol

Lalu kenapa puyer dipermasalahkan? Alasan yang paling mendasar adalah karena protokol/kaidah pembuatan puyer sering tidak dipenuhi. Pertama, dari mulai penulisan resep. Ketika beberapa obat dicampur menjadi satu, pertanyaannya, betulkah pasien tersebut membutuhkan beberapa obat tersebut? Bahkan pertanyaan pertama seharusnya, betulkah pasien membutuhkan obat? Kenyataannya, pasien belum tentu butuh obat. Kemudian, sering resep berisi daftar dari sekian banyak obat, yang tidak jelas indikasinya. Bahkan yang lebih parah, obat-obat yang seharusnya tidak boleh dibuat menjadi puyer ditulis dalam resep tersebut diracik menjadi puyer (human error?).

Namun janganlah langsung menghakimi dokter yang memberikan resep puyer ini sebagai dokter yang “ingin mencelakai pasiennya” atau dokter yang “dagang obat”, dsb. Masalahnya, sudah menjadi kebiasaan bahwa ketika periksa ke dokter pulangnya harus membawa resep. Lalu yang namanya obat haruslah manjur, satu obat, sekali diminum, penyakit langsung hilang…wuzz..wuzz..wuzz…!

Dokter juga sering larut dalam kebiasaan ini. Semua pasien yang datang diberi resep, dan karena takut pasien tidak segera sembuh (lalu mencap dirinya sebagai dokter bodoh), maka diberilah pasien obat super lengkap. Belum beban dokter (karena begitu banyaknya pasien) sering menyebabkan beliau-beliau kurang dapat memahami pasiennya secara menyeluruh. Akibatnya sering puyer menjadi sarana pengobatan yang tidak rasional. Seorang kerabat saya yang terganggu karena batuk akibat obat hipertensi yang diminumnya, ketika konsultasi ke dokter spesialis paru diberi resep yang isinya sederet penuh obat antibatuk dari golongan A-Z, dicampur menjadi 1 kapsul besar. Begitu diminum, tentu saja batuknya langsung mereda, tapi begitu obatnya berhenti bekerja, batuknya kambuh. Padahal, begitu obat hipertensinya diganti obat lain yang tidak menyebabkan batuk, batuknya langsung hilang. Ini hanyalah contoh, betapa puyer (di kasus ini dalam bentuk kapsul) sering menjadi sarana pengobatan yang tidak rasional. Dalam kasus yang saya contohkan ini, semua obat yang tertulis di resepnya adalah obat generik, puyer (kapsul)-nya harganya sangat murah, jadi beliau tidak “dagang obat”. Tapi beliau menjadi tidak rasional pengobatannya hanya karena tidak ingin pasiennya lari….(plus kurang sabar dalam menganamnesis).

Kemudian, bagaimana dengan pembuatannya? Betulkah protokol pembuatan puyer benar-benar dijalankan dengan sebaik-baiknya di lapangan? Yang ini biarlah rekan dari farmasi yang menjawabnya.

Lalu bagaimana sikap kita, sebagai pemberi jasa kesehatan, dalam menyikapi kontroversi ini? Yang paling penting adalah berkaca pada diri sendiri, bagaimana cara pengobatan kita. Rasional atau irasional? Sesuai kaidah ilmu yang kita pelajari ketika kuliah dulu, atau ikut arus? Puyer sendiri hanyalah bentuk sediaan obat. Tujuan awalnya adalah mempermudah pemberian obat, bukan sarana mencampur 10 lebih obat untuk mendapatkan ramuan super lengkap dan super manjur. Dari rekan farmasi juga perlu berkaca, sudahkah protokol pembuatan puyer dijalankan dengan baik? Misalnya, sudahkah wadah untuk membuat puyer dibersihkan dari bekas bahan yang digunakan membuat puyer sebelumnya? Bahkan, bagaimana peran apotoker di apotik? Jika ada resep yang tidak memenuhi kaidah yang benar, apa yang dilakukan? Konfirmasi ke dokter pemberi resepkah? Atau….? Yang tidak kalah penting peran otoritas kesehatan. Mau dilarang atau tetap diperbolehkan membuat puyer? Menurut saya pribadi, puyer hanyalah bentuk sediaan obat. Yang penting adalah rasionalitas pengobatannya dan proses pembuatannya. Selama protokol dipenuhi dan masih legal (masih diijinkan oleh pemegang otoritas), kenapa tidak boleh?

Penjelasan Dokter

Lalu bagaimana sikap kita sebagai pasien dalam menyikapinya? Poin paling penting adalah perubahan cara pandang kita dalam memandang hubungan dokter-pasien. Yang pertama, yang namanya ke dokter itu tidak harus pulang bawa resep. Yang kedua, jangan menuntut dokter memberikan obat yang super manjur karena penyakit apapun sebenarnya butuh waktu untuk sembuh. Saya pernah bertemu dengan seorang mantri kesehatan yang pasiennya ratusan setiap harinya (mantri kok boleh praktek seperti dokter ya? tanya kenapa). Dia dianggap pandai sekali oleh pasiennya, karena obatnya dinilai sangat manjur. Anda tahu apa obatnya? SEMUA pasien yang datang padanya selalu diberi antibiotik dosis tinggi+penghilang rasa sakit dosis tinggi+ kortikosteroid, diracik jadi 1 kapsul! Benar-benar super ngawur tapi sayangnya disukai pasien… Yang ketiga, hak kita sebagai pasien untuk meminta penjelasan dari dokter tentang penyakit yang kita derita. Jika dokter akan memberikan suatu tindakan termasuk obat, kita berhak bertanya indikasinya, bahkan cara kerja dan efek sampingnya. Bahkan seharusnya, seorang dokter menjelaskan terlebih dahulu informasi-informasi penting tentang tindakan atau obat yang akan diberikannya dan meminta persetujuan pasien terlebih dahulu sebelum memutuskan tindakan atau menulis resep. Lagipula, sudah bukan jamannya dokter duduk diam membisu jika ditanya pasiennya. Kalau kita bertemu dengan dokter seperti ini, ya jangan kembali ke dia. Selama kita tetap mau datang ke dokter seperti itu ya selama itu pula beliau-beliau akan selalu duduk diam membisu setiap kita tanya. *smile*

Lalu, puyernya sendiri bagaimana? Haruskah dihapus dari muka bumi nusantara ini? Puyer hanya macam sediaan obat. Yang penting rasionalitas pengobatannya. Jika protokol pembuatan puyer memang selalu dilanggar, ya kenapa tidak dilarang saja? Kalau kasus pelanggaran protokol sudah sulit diatasi (dengan kata lain, daripada repot-repot memantau dan atau menertibkan pembuatan puyer) paling mudah ya dilarang sekalian saja (tentu saja setelah melalui pengkajian yang mendalam dari pihak-pihak yang terkait). Tapi sekali lagi, jika semua kaidah dipenuhi, puyer itu aman. Karena itu, jika protokol pembuatan puyer selalu dipatuhi, ya kenapa dilarang? Tapi sebenarnya selanjutnya ya terserah Anda sebagai pasien, sebagai pengguna jasa. Masih mau diberi puyerkah, Anda? Selama masih mau dan atau minta diberi puyer (dan selama tidak dilarang oleh otoritas kesehatan) ya selama itu pula puyer akan selalu ada…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar